HUBUNGAN ANTARA SYAREAT DENGAN TAREKAT SYATARIYAH

Sebelum diuraikan tentang Hubungan Antara Syariat dengan tarekat Syattariyah, perlu diketahui terlebilih dahulu mengenai pengertian syariat dan tarekat.
Ulama mutaakhirin memberikan istilah syariat sama dengan hukum fikih  yaitu ‘peraturan yang ditetapkan oleh Allah kepada kaum muslimin berdasarkan Alquran, Hadis, ljmak, dan Kias’. Peraturan itu disusun secara  terperinci yang berhubungan dengan tatacara peribadatan, prinsip-prinsip ajaran moral dan kehidupan, serta hukum-hukum mengenai hal-hal yang diperbolehkan untuk dikerjakan, untuk mengetahui yang benar dan yang salah.
Secara etimologi tarekat berasal dari kata Arab ”Tariqatun” yang berarti ‘jalan atau mazab’ atau ‘cara’. Kecuali itu tarekat diartikan ‘sebagai suatu sistem atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah dengan tujuan untuk memperoleh ridha Allah dengan dibimbing oleh seorang guru/mursyid yang memiliki hubungan silsilah (ilmu tarekat) sampai kepada Nabi Muhammad Saw. yang pengamalan ibadah itu lebih mengutamakan aspek batiniah daripada aspek lahiriahnya, dengan cara memperbanyak dzikir kepada Allah. Oleh sebab itu tarekat merupakan suatu metode pelaksanaan teknis untuk mencapai hakikat ilmu tauhid secara haqqul yakin.
Untuk selanjutnya pembahasan mengenai hubungan syariat dengan tarekat Syattariyah di sini akan dibatasi pada tiga hal:
1.    Tinjauan secara syariat mengenai ajaran tarekat Syattariyah
2.    Tinjauan secara syariat mengenai guru tarekat Syattariyah
3.    Tinjauan secara syariat mengenai tarekat Syattariyah

1.    Secara garis besar tarekat Syattariyah mengajarkan tentang tata cara pelaksanaan dzikir. Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang masalah dzikir yang jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat yang menjelaskan tentang shalat, zakat, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan dzikir (secara luas) memiliki kedudukan yang cukup penting dibanding dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Pelaksanaan dzikir di dalam tarekat Syattariyah dilakukan dengan jahar (bersuara) dan sirri/ khafi (dalam hati) Pembacaan dzikir secara bersuara merupakan ibadah yang lazim dikerjakan dan cukup diketahui dasar-dasarnya oleh kebanyakan umat Islam. Sedangkan pembacaan dzikir dengan hati kurang banyak dikenal/diketahui oleh kebanyakan umat Islam, dan ini didasarkan pada firman Allah: Berdzikirlah kau dengan hatimu secara merendahkan diri dan rasa takut, dzikir itu tidak diucapkan secara lisan. Dan didasarkan pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi sebagai berikut: Dzikir yang tidak terdengar oleh Malaikat Hafazhah itu lebih utama daripada dzikir secara bersuara, dengan perbandingan satu banding tujuh puluh (Adz-dzikru l-ladzi la tasma’u hu 1-Hafazhatu yazidu ‘ala dz-dzikri l-ladzi tasma’u hu l-Hafazhatu bi sab’ina dhi’fan).

2.    Dalil-dalil yang menguatkan tentang peranan guru tarekat adalah sebagai berikut.

a.    Man laa Syaikhun Mursyidun lahu fa Mursyidu hu ‘sy-syaithaan  artinya, ‘Barangsiapa tidak memiliki guru yang berderajat Mursyid, maka ia dibimbing oleh setan’.
b.    Hadis Nabi: Kun ma’a’I-Laah fa in lam takun ma’a ‘I-Laah fa kun ma’a man ma’a ‘I-Laah fa innahu yuushiluka ilaa ‘I-Laah artinya ‘Hendaklah kau selalu beserta Allah, jika tidak dapat demikian besertalah dengan orang yang dekat dengan Allah, ia akan membimbingmu ke jalan Allah’.
c.    Alquran: ‘Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah ia tidak akan memperoleh     ‘Waliyyam Mursyida’ (pembimbing kerohanian).
d.    Alquran: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah ‘Al-Wasilah’ (Channel..berfungsi sebagai pembimbing, bukan perantara), bersungguh-sungguhlah di jalan itu mudah-mudahan kamu sukses” (Q.S. Al-Maidah 35).

3.    Tujuan pengamalan dzikir di dalam tarekat Syattariyah adalah untuk mencapai martabat insan kamil yaitu tingkat kesempurnaan (yang lazim menurut ukuran manusia). Tingkatan ini dapat diperoleh oleh seseorang, jika ia dapat mengumpulkan dua makrifat yaitu makrifat Tanziyyah dan makrifat Tasybiyyah, (mengetahui secara mendalam tentang sesuatu hal secara lahiriah dan batiniah). Hal ini didasarkan pada firman Allah di dalarn Alquran surat Al-Hadid ayat 11: Allah adalah Dzat yang Maha Pertama dan Maha Kemudian, Maha Lahir dan Maha Batin.

D.    MAKNA MAKRIFAT DALAM SYATTARIYAH

Di dalam naskah Syattariyah dikemukakan tentang tiga pengertian ma’rifat yaitu:
1.    Makrifat Tanziyyah adalah pengetahuan makrifat yang diperoleh dengan cara memperhatikan/mempelajari segala sesuatu dari segi batiniah/hakikatnya. Orang yang memiliki makrifat ini mengiktikadkan bahwa Allah tidak dapat diserupakan dengan sesuatu apapun. Hal ini didasarkan pada Alquran surat Asy-Syura: 11.
2.    Makrifat Tasybiyyah adalah ma’rifat yang diperoleh dengan cara mempelajari segala sesuatu dari segi lahiriahnya. Di dalam makrifat ini mereka mengiktikadkan bahwa Allah memiliki sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat (Q.S.Asy-Syura: 11).
3.    Himpunan antara makrifat Tanziyyah dan Tasybiyyah, yaitu makrifat yang diperoleh oleh orang-orang sufi dengan cara mempelajari segala sesuatu dari segi lahiriah dan batiniahnya. Makrifat inilah yang dianggap sempurna oleh orang-orang sufi, hal ini didasarkan kepada firman Allah bahwa “Ia (Maha Kuasa) terhadap hal-hal yang lahir dan yang batin (Q.S. Al-Hadid: 3). Pendapat ini dikuatkan pula oleh Syech Abu Sa’id Al-Harazi bahwa ”Hakikat ke-Tuhanan itu dapat dikenal meialui pemaduan dari dua hal yang bertentangan” (hal. 18).
Berdasarkan keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa fungsi khusus naskah Syattariyah adalah untuk memberikan penjelasan kepada pembaca tentang masalah ketauhidan dan hal ihwal ma’rifat.


Comments

Popular Posts