Renungan ;Yang selalu kita lakukan

Bismillahirohmanirrohim

Kita semua pasti pernah masuk kedalam sebuah ruangan yang gelap.Semua menjadi serba sulit,kita tidak bisa melihat apa-apa,kita gelisah,panik,kesal,marah,kita berjalan tidak terarah karena tidak ada cahaya yang menerangi. Akan tetapi lama kelamaan kita mulai terbiasa.Pandangan kita perlahan menjadi jelas,kita sudah beradaptasi dengan baik,melakukan aktivitaspun bukanlah suatu kesulitan lagi,hingga saat ada cahaya yang menyapa,kita malah merasa terganggu dan memalingkan muka dari cahaya tersebut. Seperti itulah saat kita melakukan dosa. Awalnya hati kita menolak,kita merasa tidak nyaman dengan keadaan tersebut, kita merasa sangat terbebani dengan kondisi saat itu. Namun, saat kita membiasakan diri dalam dosa tersebut semua menjadi ringan, diri yang hina ini mulai terbiasa melakukan dosa tanpa disadari, mulai dari melalaikan sholat, tidak menunaikan zakat,menyakiti orang lain dengan lisan dan perbuatan, yang bermaksud hanya candaan malah menjadi dosa karena hati ini sudah kering, tidak peka, tidak bisa membedakan lagi yang benar dan yang salah yang baik dan yang buruk, yang makruf dan yang mungkar, dan parah nya lagi saat ada yang memberi peringatan, nasehat dan ajakan yang di tujukan untuk kita agar senantiasa bertaqwa kepada Allah. Kita malah menolak, merasa sudah benar, angkuh sombong naudzubillahi minzalik.....

MASJID KIYAI MUARO OGAN





JIKA kita melongok ke tepian Sungai Ogan di kecamatan Kertapati, maka akan tampak sebuah masjid dengan arsitektur yang mirip dengan masjid Agung. Ornamen yang ada di Masjid Kiai Merogan menunjukkan berbagai budaya yang tumbuh di masyarakat Palembang pada waktu itu, yaitu perpaduan Melayu dan Timur dengan ciri keterbukaan. Itulah Masjid Kiai Merogan.

Masjid Kiai Merogan ini merupakan masjid kedua yang dibangun di Palembang, setelah Masjid Agung.
Masjid Kiai Merogan didirikan pada tahun 1310 H atau 1890 M oleh ulama Palembang yang sangat terkenal, yaitu Ki Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs H. Mahmud alias K. Anang atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Merogan dengan biaya sendiri. Ki Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs H. Mahmud alias K. Anang atau Kiai Merogan ini dilahirkan pada tahun 1811 M dari seorang ulama dan pedagang yang sukses.
Kiai Merogan mendirikan masjid tersebut dengan sebuah naskah yang terdapat tulisan “Nuzar Nujal Lillahi Ta’alai” pada tanggal 6 Syawal 1310 H. 
Di masa Kesultanan Palembang masjid ini punya peran yang strategis dalam berbagai kegiatan keagamaan dan sosial masyarakat Palembang.
Kiai Merogan senantiasa mengajarkan zikir kepada pengikutnya dengan cara yang unik. Apabila Beliau akan pergi-pulang dari Masjid Kiai Merogan ke Masjid Lawang Kidul, sambil mengasuh perahu Beliau dan pengikutnya bersama-sama menyenandungkan zikir secara berulang-ulang. Karena itulah penduduk sekitar tahu kalau Kiai Merogan sedang lewat dan sejak itulah Beliau dikenal dengan nama Kiai Merogan.


Nama Kiai Merogan sesuai dengan aktivitas Beliau yang sering berada di kawasan Muara sungai Ogan yang airnya mengalir ke sungai Musi.
Tidak hanya Masjid Kiai Merogan yang dibangun Kiai Merogan, tetapi Masjid Lawang Kidul yang berada di tepi Sungai Musi, di daerah seberang ilir, kelurahan 5 ilir. Selain itu, Kiai Merogan juga mendirikan masjid di desa Pedu, Pemulutan, OKI dan masjid di desa Ulak Kerbau Lama, Pegagan Ilir, OKI.
Sangat disayangkan, kebakaran yang terjadi pada tahun 1964—1965 telah menghanguskan peninggalan karya tulis Kiai Merogan.
Semasa hidupnya, Ki Merogan melakukan pelawatan ke Mekkah dan Saudi Arabia untuk menuntut ilmu agama. Namun, selama berada di negeri orang, Beliau senatiasa terbayang dan teringat pada “Si anak Yatim” yang berada di tepian Sungai Ogan dan tepian Sungai Musi, yang tak lain adalah Masjid Kiai Merogan dan Masjid Lawang Kidul.
Kiai Merogan meninggalkan para pendukungnya pada 31 Oktober 1901 dan dimakamkan di sekitar Masjid Kiai Merogan Meskipun, Kiai Merogan telah lama tiada, makamnya dikeramatkan hingga kini dan senantiasa ramai dikunjungi para peziarah yang datang dari berbagai daerah untuk berdoa dan mendapat berkah.
Kiai Merogan dapat dipandang sebagai sejarah kolektif (folk history). Cerita-cerita orang-orang suci (legends of the saints) dapat terus hidup di tengah masyarakat palembang.

TAUHID




اِلَهِى اَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ 
“Wahai Tuhanku, Engkaulah tujuanku dan Ridhamu yang kucari” 
اَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَى اْلاِنْسَانِ# مَعْرِفَةُ اْلاِلَهِ بِاسْتِيْقَانِ 
Kewajiban yang pertama kali atas manusia # 
Adalah mengenal tuhannya (Allah swt.) dengan yakin dan nyata. 
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ 
Barang siapa yang mengenal dirinya maka sungguh ia telah mengenal tuhannya. 
======================================================================= 

1. Ridha 
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْاعَنْهُ 
“Allah Ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya” 
(Al Maidah:119, Al Bayyinah:8) 

Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menuturkan: 
“Seorang murid bertanya kepada gurunya, ‘apakah si hamba mengetahui jika Allah ridha kepadanya?’ sang guru menjawab, ‘Tidak, bagaimana dapat mengetahuinya, sedangkan ridha-Nya gaib?’ Si murid berkata, ‘Sungguh ia tahu hal itu! Jika aku mendapati hatiku ridha kepada Allah swt, maka aku tahu bahwa Dia ridha kepadaku.’ Maka sang guru lalu berkata, ‘sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda’.” 

Kenyataannya, bukanlah perkara mudah untuk menerima segala kegagalan, kesengsaraan, kekurangan. Oleh sebab itu diperlukan riadhah dan pembimbing untuk menata hati dalam menjalani ketentuan-Nya. 

2. Ma’rifat 
Arti menurut bahasa adalah TAHU, KENAL 

Abu Bakr asy-Syibly berkata, “Allah adalah Yang Esa, Yang dikenal sebelum ada batas dan huruf. Maha Suci Allah, tidak ada batasan bagi Dzat-Nya, dan tidak ada huruf bagi Kalam-Nya.” 

Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai fardhu pertama, yang difardhukan Allah swt. Terhadap makhluk-Nya. Ia berkata, “Ma’rifat.” Karena firman Allah swt.: 
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلاِنْسَ اِلَّالِيَعْبُدُوْنَ 
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku” 
(Q.s. Adz-Dzariyaat:56) 

Ibnu Abbas bin Abdul Muthalib al-Qurasyi al-Hasyimy menafsiri Illa liya’buduun dimaksudkan adalah Illa liya’rifuun (kecuali untuk ma’rifat kepada-Ku) 

3. Yaqin 
Al-Junayd mengatakan, “Keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah.” 

Abu Bakr al-Warraq berkomentar, “Keyakinan adalah landasan hati, dan iman disempurnakan dengannya. Allah swt diketahui dengan keyakinan, dan akal memahami apa yang datang dari Allah.”