MENGGAPAI IKHLAS DALAM BERIBADAH



SESUNGGUHNYA ikhlas itu, sangatlah mulia di hadapan Allah. 

Manusia yang ikhlas tidak akan berat dalam melakukan apa yang akan dilakukan, begitupun hatinya senantiasa berada pada pengharapan ridho Allah SWT. Lalu bagaimana bentuk ikhlas itu sendiri?

 Ikhlas tidak akan pernah diucapkan oleh pelakunya, ia akan memalingkan ucapannya hingga ia tidak akan pernah berbicara ikhlas. Rukun Ikhlas dalam beribadah terdiri dalam 2 bagian, yaitu: 

 1. Hatinya hanya menuju kepada Allah, tiada tujuan kecuali hanya Allah saja. 

 2. Secara zahirnya dalam beribadah mengikuti aturan qaidah fiqhiyah (sesuai dengan syariat Islam), 

bahwa tidak akan di terima amalnya seseorang apabila sesuatu yang ia amalkan telah menyalahi ajaran-Nya. 

 Karena dalam sebuah hadits di sebutkan bahwa:

 إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ الْعَمَلَ إِلاَّ طَيِّب

"Sesungguhnya Allah itu bagus, dan tidak akan diterima kecuali amalan-amalan yang bagus”. 

Seseorang dalam beramal, apabila tidak memenuhi ke-2 rukun diatas, sebaik apapun amalannya tetapi sesuatu yang ia amalkan itu tidak benar dan tidak sesuai dengan syariat Islam, maka Allah tidak akan menerima amalannya, seperti yang dikatakan oleh Para Ulama:

 “Tidak akan diterima amalan seseorang melainkan ia-nya Ikhlas dan benar sesuai syari’ah”.

 Lebih jauh, dalam prakteknya; sebuah amalan yang kita lakukan tidak dikatakan sempurna melainkan dengan dilandasi niat yang kuat, lisan kita melafazkan secara zahir, kemudian diikuti dengan perbuatan yang sesuai dengan aturan syariat Islam.

 Seperti halnya mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. 

Hingga mereka mendirikannya tanpa imbalan. Untuk itu, supaya amalan kita diterima oleh Allah dan tidak sia-sia, alangkah lebih baiknya kita coba fahami sifat-sifat apa sajakah yang membedakan kita dalam melakukan ibadah, dengan satu tujuan supaya kita lebih jauh mengetahui kualitas seseorang dalam beramal sholih. 

Sifat Ikhlas dibagi dalam 3 macam:

 1. Ikhlas Awam, yaitu: Dalam beribadah kepada Allah karena dilandasi perasaan rasa takut terhadap siksa Allah dan masih mengharapkan pahala. 

 2. Ikhlas Khawas, yaitu: Beribadah kepada Allah karena didorong dengan harapan supaya menjadi orang yang dekat dengan Allah, dan dengan kedekatannya kelak ia mendapatkan sesuatu dari Allah SWT. 

 3. Ikhlas Khawas al-Khawas adalah: Beribadah kepada Allah karena atas kesadaran yang mendalam bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Allah-lah Tuhan yang sebenar-benarnya. 

Dari penjelasan diatas, ikhlas tingkatan yang pertama dan kedua masih mengandung unsur pamrih (mengharap) balasan dari Allah,

 sementara tingkatan yang ketiga adalah ikhlas yang benar-benar tulus dan murni karena tidak mengharapkan sesuatu apapun dari Allah kecuali ridla-Nya, tingkatan ini hanya di miliki oleh orang-orang yang arif bi Allah.


 Imam Al-Ghazali mengatakan: 

”Setiap manusia akan binasa kecuali orang yang berilmu, dan orang yang berilmu akan binasa kecuali yang beramal (dengan ilmunya), dan orang yang beramal juga binasa kecuali yang ikhlas (dalam amalnya).

Akan tetapi, orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan berhati-hati dalam beramal. 

 Sungguh keikhlasan merupakan benteng yang paling kokoh yang tak tergoyahkan oleh apapun bentuk rayuan dan fitnah iblis beserta sekutunya. 

Semakin luas wilayah kerja (dakwah) seseorang, maka semakin diperlukan tingkat keikhlasannya. Apalagi di tengah semakin beragam hambatan atau ujian keikhlasan yang menghadang, yang pada umumnya seperti yang dinyatakan oleh Syekh Hasan Al-Banna dalam Risalahnya, yaitu: 

Harta, kedudukan, popularitas, gelar, ingin selalu tampil di depan dan diberi penghargaan serta pujian.

 Inilah bangunan keikhlasan yang pernah ditunjukkan dan dicontohkan dalam dakwah para nabi Allah SWT, sehingga mereka meraih kesuksesan dan diabadikan namanya oleh Allah swt sebagai cerminan bagi para da’i sesudah mereka.   

Renungan ;Yang selalu kita lakukan

Bismillahirohmanirrohim

Kita semua pasti pernah masuk kedalam sebuah ruangan yang gelap.Semua menjadi serba sulit,kita tidak bisa melihat apa-apa,kita gelisah,panik,kesal,marah,kita berjalan tidak terarah karena tidak ada cahaya yang menerangi. Akan tetapi lama kelamaan kita mulai terbiasa.Pandangan kita perlahan menjadi jelas,kita sudah beradaptasi dengan baik,melakukan aktivitaspun bukanlah suatu kesulitan lagi,hingga saat ada cahaya yang menyapa,kita malah merasa terganggu dan memalingkan muka dari cahaya tersebut. Seperti itulah saat kita melakukan dosa. Awalnya hati kita menolak,kita merasa tidak nyaman dengan keadaan tersebut, kita merasa sangat terbebani dengan kondisi saat itu. Namun, saat kita membiasakan diri dalam dosa tersebut semua menjadi ringan, diri yang hina ini mulai terbiasa melakukan dosa tanpa disadari, mulai dari melalaikan sholat, tidak menunaikan zakat,menyakiti orang lain dengan lisan dan perbuatan, yang bermaksud hanya candaan malah menjadi dosa karena hati ini sudah kering, tidak peka, tidak bisa membedakan lagi yang benar dan yang salah yang baik dan yang buruk, yang makruf dan yang mungkar, dan parah nya lagi saat ada yang memberi peringatan, nasehat dan ajakan yang di tujukan untuk kita agar senantiasa bertaqwa kepada Allah. Kita malah menolak, merasa sudah benar, angkuh sombong naudzubillahi minzalik.....

MASJID KIYAI MUARO OGAN





JIKA kita melongok ke tepian Sungai Ogan di kecamatan Kertapati, maka akan tampak sebuah masjid dengan arsitektur yang mirip dengan masjid Agung. Ornamen yang ada di Masjid Kiai Merogan menunjukkan berbagai budaya yang tumbuh di masyarakat Palembang pada waktu itu, yaitu perpaduan Melayu dan Timur dengan ciri keterbukaan. Itulah Masjid Kiai Merogan.

Masjid Kiai Merogan ini merupakan masjid kedua yang dibangun di Palembang, setelah Masjid Agung.
Masjid Kiai Merogan didirikan pada tahun 1310 H atau 1890 M oleh ulama Palembang yang sangat terkenal, yaitu Ki Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs H. Mahmud alias K. Anang atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Merogan dengan biaya sendiri. Ki Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs H. Mahmud alias K. Anang atau Kiai Merogan ini dilahirkan pada tahun 1811 M dari seorang ulama dan pedagang yang sukses.
Kiai Merogan mendirikan masjid tersebut dengan sebuah naskah yang terdapat tulisan “Nuzar Nujal Lillahi Ta’alai” pada tanggal 6 Syawal 1310 H. 
Di masa Kesultanan Palembang masjid ini punya peran yang strategis dalam berbagai kegiatan keagamaan dan sosial masyarakat Palembang.
Kiai Merogan senantiasa mengajarkan zikir kepada pengikutnya dengan cara yang unik. Apabila Beliau akan pergi-pulang dari Masjid Kiai Merogan ke Masjid Lawang Kidul, sambil mengasuh perahu Beliau dan pengikutnya bersama-sama menyenandungkan zikir secara berulang-ulang. Karena itulah penduduk sekitar tahu kalau Kiai Merogan sedang lewat dan sejak itulah Beliau dikenal dengan nama Kiai Merogan.


Nama Kiai Merogan sesuai dengan aktivitas Beliau yang sering berada di kawasan Muara sungai Ogan yang airnya mengalir ke sungai Musi.
Tidak hanya Masjid Kiai Merogan yang dibangun Kiai Merogan, tetapi Masjid Lawang Kidul yang berada di tepi Sungai Musi, di daerah seberang ilir, kelurahan 5 ilir. Selain itu, Kiai Merogan juga mendirikan masjid di desa Pedu, Pemulutan, OKI dan masjid di desa Ulak Kerbau Lama, Pegagan Ilir, OKI.
Sangat disayangkan, kebakaran yang terjadi pada tahun 1964—1965 telah menghanguskan peninggalan karya tulis Kiai Merogan.
Semasa hidupnya, Ki Merogan melakukan pelawatan ke Mekkah dan Saudi Arabia untuk menuntut ilmu agama. Namun, selama berada di negeri orang, Beliau senatiasa terbayang dan teringat pada “Si anak Yatim” yang berada di tepian Sungai Ogan dan tepian Sungai Musi, yang tak lain adalah Masjid Kiai Merogan dan Masjid Lawang Kidul.
Kiai Merogan meninggalkan para pendukungnya pada 31 Oktober 1901 dan dimakamkan di sekitar Masjid Kiai Merogan Meskipun, Kiai Merogan telah lama tiada, makamnya dikeramatkan hingga kini dan senantiasa ramai dikunjungi para peziarah yang datang dari berbagai daerah untuk berdoa dan mendapat berkah.
Kiai Merogan dapat dipandang sebagai sejarah kolektif (folk history). Cerita-cerita orang-orang suci (legends of the saints) dapat terus hidup di tengah masyarakat palembang.

TAUHID




اِلَهِى اَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ 
“Wahai Tuhanku, Engkaulah tujuanku dan Ridhamu yang kucari” 
اَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَى اْلاِنْسَانِ# مَعْرِفَةُ اْلاِلَهِ بِاسْتِيْقَانِ 
Kewajiban yang pertama kali atas manusia # 
Adalah mengenal tuhannya (Allah swt.) dengan yakin dan nyata. 
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ 
Barang siapa yang mengenal dirinya maka sungguh ia telah mengenal tuhannya. 
======================================================================= 

1. Ridha 
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْاعَنْهُ 
“Allah Ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya” 
(Al Maidah:119, Al Bayyinah:8) 

Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menuturkan: 
“Seorang murid bertanya kepada gurunya, ‘apakah si hamba mengetahui jika Allah ridha kepadanya?’ sang guru menjawab, ‘Tidak, bagaimana dapat mengetahuinya, sedangkan ridha-Nya gaib?’ Si murid berkata, ‘Sungguh ia tahu hal itu! Jika aku mendapati hatiku ridha kepada Allah swt, maka aku tahu bahwa Dia ridha kepadaku.’ Maka sang guru lalu berkata, ‘sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda’.” 

Kenyataannya, bukanlah perkara mudah untuk menerima segala kegagalan, kesengsaraan, kekurangan. Oleh sebab itu diperlukan riadhah dan pembimbing untuk menata hati dalam menjalani ketentuan-Nya. 

2. Ma’rifat 
Arti menurut bahasa adalah TAHU, KENAL 

Abu Bakr asy-Syibly berkata, “Allah adalah Yang Esa, Yang dikenal sebelum ada batas dan huruf. Maha Suci Allah, tidak ada batasan bagi Dzat-Nya, dan tidak ada huruf bagi Kalam-Nya.” 

Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai fardhu pertama, yang difardhukan Allah swt. Terhadap makhluk-Nya. Ia berkata, “Ma’rifat.” Karena firman Allah swt.: 
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلاِنْسَ اِلَّالِيَعْبُدُوْنَ 
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku” 
(Q.s. Adz-Dzariyaat:56) 

Ibnu Abbas bin Abdul Muthalib al-Qurasyi al-Hasyimy menafsiri Illa liya’buduun dimaksudkan adalah Illa liya’rifuun (kecuali untuk ma’rifat kepada-Ku) 

3. Yaqin 
Al-Junayd mengatakan, “Keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah.” 

Abu Bakr al-Warraq berkomentar, “Keyakinan adalah landasan hati, dan iman disempurnakan dengannya. Allah swt diketahui dengan keyakinan, dan akal memahami apa yang datang dari Allah.”

Jika engkau belum mempunyai ilmu,                                             hanyalah prasangka,maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.                                                                    Begitulah caranya!                                                                       Jika engkau hanya mampu merangkak,maka merangkaklah kepadaNya!                                                                                  Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,maka tetaplah persembahkan doamu yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;kerana Tuhan, dengan rahmatNya akan tetap menerima mata uang palsumu!                                                         Jika engkau masih mempunyai seratus keraguan mengenai Tuhan,maka kurangilah menjadi sembilan puluh Sembilan saja. Begitulah caranya!                                                                             Wahai pejalan!                                                                                    Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,ayolah datang, dan datanglah lagi!                                                                             Karena Allah telah berfirman: “Ketika engkau melambung ke angkasa ataupun terpuruk ke dalam jurang, ingatlah kepadaKu, kerana Akulah jalan itu.”

TAFAKUR

Coretan diniding-dinding renungan hati....                              

Telah penuh dengan goresan.                                            Nyanyian rindu dan cinta telah mengundang.                  

Namun............                                                                                

Hanya setetes embun penyejuk dan sepercik sinar penerangan sukma.                                                                 Hingga kini enggan menimpa kerinduan...... Kesedihan... Canda... Tawa.,,, kebahagiaan.. Kehancuran semu.              

akan mengikuti gerak-gerik setiap langkah dan napas..........  Semua hanya semu.                                Semua ingin mengikuti kehendak hati masing-masing.                

Tak sadarkah kita........?                                                          Yang larut dan hanyut dalam permainan wayang dunia.     

Siapa dalang di belakang layar......?                                   Tuhan...........                                                                                        

Masih adakah hari untuk kami.                                                       

Untuk mengoreksi tentang kebodohan...                                         

Kemunafikan dan keangkuhan.....!                                      Pada tafakhur,simpuh dan sujud.                                        Kami mohon petunjuk dan ampunan Mu.........!

SIAPA DIRIMU

“Tidak ada sesuatupun yang lebih dekat
kepadamu selain dirimu sendiri;
jika kau tidak memahami dirimu,
bagaimana kau bisa memahami orang lain?
Kau mungkin berkata, ‘aku memahami diriku’,
tetapi kau salah!
Satu-satunya yang kau ketahui tentang dirimu,
hanyalah penampilan fizikalmu.
Satu-satunya yang kau ketahui tentang ‘nafs’mu (jiwa),
adalah ketika kau lapar kau makan,
ketika kau marah kau membuat keributan,
dan ketika kau termakan bara nafsu, kau bercinta.
Semua binatang memiliki kesamaan dengan dirimu
dalam hal ini.
Kau harus mencari kebenaran di dalam dirimu..
.. Siapa dirimu?
Dari mana datangnya dirimu, dan kemana kau akan pergi?
Apa perananmu di dunia ini?
Kenapa kau diciptakan?
Di mana kebahagiaan sejatimu berada?
Jika kau ingin mengetahui tentang dirimu,
kau harus mengetahui bahwa kau diciptakan dari dua hal.
Pertama adalah tubuhmu dan penampilan luarmu (zahir)
yang dapat kau lihat dengan matamu.
Bahagian lainnya adalah jiwamu.
Jiwamu adalah bahagian yang tidak bisa kau lihat
tetapi bisa kau ketahui
dengan pengetahuanmu yang dalam.
Kebenaran akan eksistensimu ada di dalam jiwamu.
Hal lainnya hanyalah pengabdi bagi jiwamu.”
- Imam Al Ghazali
:: Dikutip dari buku Imam Al-Ghazali,
berjudul Kimiya’e Saadat : “The Alchemy of Happiness”.